Minggu, 18 Maret 2012

Makna TUT WURI HANDAYANI

Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).

Tut Wuri Handayani adalah penggalan dari kalimat panjang yang terkenal dari Ki Hajar Dewantoro, pendiri Taman Siswa, bapak pendidikan kita, yang baris terakhirnya juga menjadi bagian dari logo Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia : Ing Ngarso Sun Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Maknanya lebih kurang : di depan memberi teladan, ditengah membimbing (memotivasi, memberi semangat, menciptakan situasi kondusif) dan dibelakang mendorong (dukungan moral).

Kalimat itu menjadi rujukan saat bicara tentang konsep kepemimpinan yang baik, memberi tuntunan bagaimana seharusnya seorang pemimpin atau seorang guru (yang digugu dan ditiru) bertindak.

Ketiga kalimat itu berulang-ulang ditulis, dibahas, diingat kemudian dilupakan. As usual, idelisnya kita sampai di mulut saja. Begitu turun ke perut yang serba idealis tadi akan menguap ke atas dan masuk kembali ke kepala dalam sebentuk angan-angan tentang suatu hal yang ideal. Keluar lagi lewat mulut, begitu turun ke perut menguap lagi, dan seterusnya, dan seterusnya. (Do you catch me?)

Kalimat itu begitu sering diucapkan, dibaca, dibahas sampai si pendengar atau si pembaca lupa untuk memahami, belum sampai taraf menghayati, apalagi mengamalkan. Untuk sampai ke tahap paham saja sulit. Sebab umumnya begitu tahu, sudah puas. Berhenti, dan mengira dirinya sudah hebat.

Ing Ngarso Sun Tuladha
Di depan memberi teladan. Duh susahnya menjadi teladan. Menjadi teladan itu artinya si pemberi teladan harus senantiasa sadar, aware terhadap pikiran, perkataan dan tindakannya. Melakukan segala sesuatu secara benar. Memberi contoh yang baik. Itu sulit. Alamiahnya manusia itu selalu mondar-mandir di dua kutub. Mana bisa menjadi baik terus. Seharusnya juga tidak buruk terus.
Menyeimbangkan dua kutub itu adalah perjuangan seumur hidup. Lalu kalau untuk seimbang saja harus berjuang seumur hidup, sewaktu-waktu bisa tergelincir jatuh, bagaimana memberi teladan? Ya dengan menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk tetap seimbang itu tadi. Saat kita senantiasa sadar dan berusaha menyeimbangkan diri, tidak perlu repot-repot memikirkan apa teladan yang baik, sebenarnya kita sudah memberi teladan.

Ing Madya Mangun Karsa
Di tengah memotivasi, menggugah semangat, kemauan dan niat. Ini juga sulit. Bagaimana membuat situasi yang kondusif untuk orang lain agar bisa berkembang, menggugah semangat untuk terus meraih kemajuan itu sulit. Apalagi kita dihadapkan pada masalah internal diri kita sendiri dan masalah eksternal dengan lingkungan kita. Tidak bisa? Oh bisa. Yang diperlukan hanya niat baik untuk melakukannya. Asal paham lakonnya hidup, baris yang inipun pasti akan dilakukan orang-orang dengan senang hati. (Bagaimana lakonnya hidup? berdiamlah --maka kau akan tahu!).

Tut Wuri Handayani
Di belakang memberi dorongan moral. Nah ini dia. Katanya seorang pemimpin atau guru atau orang yang lebih pandai, lebih tahu-- saat membimbing orang lainnya harus bersikap sebagai among (ini bahasa Jawa, bukan Inggris!). Pengemong. Pengasuh. Jadi yang menjadi fokus adalah yang diasuh. Karena itu saat yang di asuh merasa lemah, merasa tidak mampu, pengemong akan maju memberi dorongan semangat, dukungan moral. Dengan kata-kata, dengan sikap perbuatan. Dengan hati yang penuh cinta. (iya penuh cinta, karena tanpa yang satu ini, tidak akan pernah bisa ada tindakan tut wuri handayani).

Jadi kesimpulannya apa yang coba disampaikan KH Dewantoro itu adalah : sadarlah pada pikiran, perkataan dan tindakan kita, pahami hidup dan kembangkan cinta kasih. Inilah pemahaman saya tentang Ing Ngarsa Sun tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.

Tetapi, masih ada tetapi. Saya bukan penutur asli bahasa Jawa. Saya tidak dibesarkan dalam tradisi Jawa. Saya tidak tinggal cukup lama di pulau Jawa. Jadi, bisa jadi pemahaman saya tentang kalimat KH Dewantoro ini mengalami distorsi makna karena ketidaktahuan saya. Karena dari pengalaman saya, setiap kata bahkan huruf, dalam bahasa Jawa selalu punya makna. Tidak ada kata yang sia-sia. Seperti halnya hidup, tidak ada hidup yang sia-sia. Tidak ada kejadian yang sia-sia.........


Sumber : http://sdn-sindanggalih.sch.id

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites